Pertengahan bulan
Oktober, warga Kabupaten Garut, Jawa Barat diresahkan dengan munculnya grup
penyuka sesama jenis (homoseksual) di media sosial facebook. Masyarakat pun mengadukan keresahannya tersebut kepada
pihak yang berwajib. Pasalnya jumlah anggota grup yang terdiri dari
remaja-remaja Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Mengengah Atas tersebut
mencapai ribuan orang. Isi percakapan yang mengandung unsur pornografi dan
ajakan-ajakan untuk berhubungan sesama jenis, menjadi penyebab keresahan
masyarakat. Polisi pun turun tangan untuk mengusut kasus tersebut.
Ratusan Kepala Sekolah
SMP se-Kabupaten Garut juga melakukan deklarasi. Mereka menolak berbagai
kegiatan dan aksi LGBT di lembaga pendidikan. Bagi mereka isu ini cukup
mencoreng wajah pendidikan di Garut. Padahal, segala bentuk kegiatan kerohanian
telah dilakukan setiap hari. Di sekolah pun siswa telah dilarang menggunakan
HP. Namun cara-cara tersebut rasanya hanya akan menambah kebencian dan
intoleransi masyarakat terhadap kaum homoseksual.
Isu
LGBT dan homoseksual di Indonesia
Isu LGBT sebenarnya
telah lama muncul di Indonesia, seperti pada awal tahun 2018. Sebanyak 12 orang
waria ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Polisi menyebut banci sebagai
penyakit menular dan karena itu mesti diberantas. Di sana mereka dicukur cepak
dan diberikan pembinaan agar menjadi macho
kembali. Mereka pun merasa dipermalukan dan trauma. Tujuh orang dari mereka
akhirnya mengungsi ke Medan, dan
sebagian lainnya ke kota lain.
Diskriminasi, kekerasan, dan persekusi pun menjadi semakin sering mereka terima. Hal itu lantas membuat mereka merasa terancam, ketakutan dan selalu was-was. Maka menjadi hal wajar ketika mereka menuntut hak-haknya dipenuhi. Karena nyatanya, beberapa masyarakat juga memperlakukan mereka dengan baik dan bersikap tidak memusuhi. Salah satunya dengan didirikannya pondok pesantren waria di Yogyakarta. Kaum waria di sana mendapatkan dukungan untuk tetap melaksanakan kegiatan keagamaan. Meski sempat mendapatkan teror agar pesantren ditutup, namun mereka tetap melakukan ibadah. Toh, mereka tidak melakukan kegiatan yang merugikan masyarakat. Interaksi dan hubungan sosial di antara mereka juga berlangsung harmonis.
Seperti para waria ini, kaum homoseksual seperti gay juga mendapatkan perlakuan yang hampir sama dari masyarakat. Padahal sebenarnya mereka juga ingin diterima oleh masyarakat. Tidak sesuainya homoseksual dengan nilai agama biarlah menjadi urusan mereka. Dosa manusia adalah urusan Tuhan. Bagaimanapun, Hak Asasi Manusia telah melekat kepada mereka. Mereka berhak untuk hidup tanpa kecemasan dan ketakutan. Dan sebagai manusia, kita wajib menghargai hak-hak orang lain.
Indonesia adalah negara yang memiliki banyak keberagaman. Masyarakat mampu hidup dalam perbedaan yang jamak. Maka toleransi di antara sesama menjadi isu yang begitu penting, terutama dalam mengahadapi kaum homoseksual. Hal ini perlu diajarkan kepada generasi muda. Mereka harus menndapatkan edukasi mengenai pendidikan seksual sejak dini, terutama mengenai homoseksual. Maka ajakan untuk membenci dan memerangi kaum homoseksual justru membuat generasi muda berpikir sempit. Alih-alih menjaga generasi muda agar berorientasi heteroseksual, jangan sampai kita malah menghancurkan hidup kaum homoseksual.
Masyarakat
Indonesia boleh membenci dan memerangi kaum homoseksual yang terang-terangan
melakukan kegiatan seks di muka umum. Atau mereka yang melakukan pelecehan
sesksual terhadap sesama, dan mempengaruhi generasi muda untuk memiliki
orientasi seksual seperti mereka. Namun perlu diingat bahwa tidak semua kaum
homoseksual melakukan kegiatan amoral tersebut. Maka masyarakat perlu cerdas dalam menanggapi isu setiap
isu yang tersebar. Stigma buruk dan perlakuan diskriminatif mereka terhadap
kaum homoseksual pun perlu untuk dihindari. Agar mereka juga dapat hidup dengan
tenang, dan masyarakat semakin terbuka untuk menerima mereka.
Homoseksual Bukanlah Gangguan JIwa
Homoseksual merupakan salah satu jenis orientasi seksual.
Individu yang memiliki kesukaan dengan sesama jenisnya, yaitu laki-laki
menyukai laki-laki (gay), dan perempuan menyukai perempuan (lesbian) disebut
sebagai kaum homoseksual. Tahun 1973, di dalam DSM homoseksual masih dianggap
sebagai salah satu penyimpanagan seksual. Tahun itu pula Pakar Taksonomi American Psychiatric Association mendapat
tekanan dari banyak profesional dan para aktivis gay. Mereka menuntut agar
homoseksual dihapuskan dari daftar gangguan jiwa. Kontroversi pun terjadi di
antara para profesional kesehatan mental. Hingga akhirnya DSM III menghapuskan
homoseksualitas dari daftar gangguan jiwa. Diagnosis baru lalu dimunculkan dengan
nama homoseksualitas ego-distonik yang merujuk pada orang dengan gairah
homoseksual namun merasakan gairah tersebut sebagai sumber distres dan ingin
menjadi heteroseksual. Meski begitu, beberapa ahli masih menganggap
homoseksualitas mencerminkan fiksasi pada tahap awal perkembangan psikoseksual
dan dianggap abnormal.
Sampai saat ini, Asosiasi Psikiatri Amerika Serikat tetap
menganggap homoseksual bukan merupakan gangguan jiwa. Bahkan, Amerika Serikat
sendiri telah melegalkan pernikahan sesama jenis. Panduan Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa III, yang digunakan oleh para ahli di Indonesia sebagai
dasar untuk mendiagnosis pasien sebenarnya juga tidak menyebut kaum LGBT sebagai
Orang dnegan Gangguan Jiwa. Namun, Danardi Sosrosumihardjo, Ketua Perhimpunan
Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia menyatakan bahwa lesbian, gay, dan
biseksual masuk dalam kelompok Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK), yaitu
orang-orang yang memiliki resiko mengalami gangguan jiwa, dan ODMK bukanlah
sebuah diagnosis. Hal tersebut diungkapkan setelah Perhimpunan Dokter Spesialis
Kedokteran Jiwa Indonesia mendapatkan surat dari Asosiasi Psikiatri Amerika
Serikat pada tahun 2016 lalu. Dalam surat tersebut mereka meminta perhimpunan
Indonesia mempertimbangkan ulang kebijakan yang menyatakan bahwa
homoseksualitas masuk dalam kategori gangguan jiwa. (www.bbc.com, 17 Maret 2016)
Sebenarnya, dalam PPDGJ III, F.66 tentang Gangguan
Psikologis dan Perilaku yang Berhubungan dengan Perkembangan dan Orientasi
Seksual tertulis, “Orientasi seksual sendiri jangan dianggap sebagai suatu
gangguan.” Dengan begitu, homoseksual juga tidak bisa didiagnosis sebagai
gangguan jiwa.
Masyarakat perlu tahu bahwa homoseksual bukanlah sebuah
penyakit yang menular ataupun gangguan jiwa. Edukasi yang kurang dan stigma
yang sudah terlanjur melekat pada kaum homoseksual ini membuat banyak kasus
diskriminasi terhadap kaum homoseksual terjadi. Dilihat dari kacamata humanis,
mereka adalah orang yang memiliki Hak Asasi Manusia sama dengan masyarakat pada
umumnya. Mereka memiliki hak untuk hidup, berkumpul, dan berserikat seperti
warga negara lainnya.
Meski begitu masyarakat perlu tahu bahwa orientasi seksual
seseorang terbentuk seiring perkembangan mereka. Maka ketika banyak grup gay
yang kemudian menyebarkan banyak konten amoral untuk berhubungan dengan lawan
jenis, akan sangat berpengaruh terhadap orientasi seksual anak-anak. Maka
menjadi wajar ketika masyarakat merasa resah. Keresahan ini sudah seharusnya
menjadi pengingat bagi para orangtua. Mereka harus lebih memperhatikan
pertumbuhan dan perkembangan seksual anak-anaknya. Sebab pergaulan yang sudah
bebas dan aliran informasi yang tidak bisa dibendung dapat membawa anak pada
orientasi seksual sesama jenis.
Maka pendidikan seks bagi anak usia dini pun menjadi penting.
Terlebih pelecehan seksual terhadap anak kini bagaikan gunung es yang menyimpan
banyak kasus tak terungkap. Dengan perhatian, pengarahan, serta kepekaan yang
diberikan kepada anak, pengetahuan mereka tentang seks pun menjadi terarah.
Anak akan mampu memilah informasi, dan menghindari serta menolak pergaulan yang
bisa menjerumuskan mereka kepada nilai-nilai moral dengan stigma buruk di
masyarakat.
Barangkali masyarakat kita tidaklah merasa resah karena
menganggap mereka sebagai orang dengan gangguan jiwa. Namun karena hal tersebut
tidak dibenarkan dalam agama. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah menjelaskan
bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang memiliki agama. Sehingga
hal-hal yang bertetangan dengan agama berarti telah melanggar norma-norma yang
disetujui masyarakat.
Menanggapi hal tersebut, Komisi Perlindungan Anak Indonesia
melakukan himbauan kepada pemerintah agar tidak meremehkan munculnya grup gay
tersebut. Grup Gay di media sosial dinilai berpotensi untuk mempengaruhi
perkembangan serta orientasi seksual anak. Kebebasan dalam mengakses media
sosial dapat membuat cara pandang anak terhadap orientasi seksual mengarah pada
sesama jenis (homoseksual). Maka menjadi hal wajar ketika banyak kalangan
merasa resah dengan kemunculan grup tersebut secara terang-terangan.